Western Blotting
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Protein merupakan suatu zat yang
terdapat di dalam makanan yang sangat penting bagi tubuh,karena berfungsi
sebagai zat pembangun dan pengatur. Juga sebagai sumber asam amino yang
mengandung unsur C,H,O dan N yang tidak dimiliki oleh lemak maupun
karbohidrat. Selain itu protein juga memiliki fungsi sebagai bahan struktural
seperti halnya polimer lainnya. Protein memiliki rantai panjang dan dapat
mengalami cross linking. Sehingga
protein juga berperan dalam biokatalis suatu reaksi-reaksi kimia dalam makluk
hidup. Makromolekul itulah yang mengendalikan metabolism yang kompleks dan
menjaga kelangsungan hidup suatu orgenisme. (Santoso, 2008)
Berhubungan dengan hal tersebut, jika terjadi suatu kelainan
dalam biokatalis suatu makhluk hidup maka akan terlihat dengan jelas dengan
kelainan proteinnya. Sehingga diperlukan beberapa uji yang dibutuhkan untuk
mengetahuinya. Salah satunya adalah dengan uji Western Blotting untuk
mengetahui jenis dan berat molekul suatu protein. Namun sebelum dilakukan
uji diatas harus diterapkan isolasi protein terhadap sampel yang diambil. Agar
protein murni dari sampel bisa didapat sehingga uji tersebut bisa dilakukan
dengan baik dan benar.
` Teknik
ini pertama kali dibuat oleh W. Neal Burnette dan dinamai western blot. Western
blot merupakan teknik untuk mendeteksi protein spesifik pada sampel jaringan
yang homogen ataupun dari suatu ekstraksi berdasarkan kemampuan protein
tersebut berikatan dengan antibodi. Teknik ini menggunakan gel elektroforesis
untuk memisahkan protein berdasarkan panjang polipeptida atau berdasarkan
struktur 3D-nya. Protein tersebut kemudian ditransfer ke sebuah membran,
biasanya nitroselulosa atau PVDF, dimana mereka kemudian akan dilacak dengan
menggunakan antibodi yang spesifik kepada protein target.
1.2 Rumusan
masalah
Adapun rumusan masalah
padamakalah ini yakni sebagai berikut:
1. Teori
secara umum teknik Western Blotting (pengertian, prinsip, prosedur)
2. Aplikasi
dan manfaat dari teknik Western Blotting pada spesifitas dan sensitifitas
antibodi anti eRF3 ragi Saccharomyces cerevisia.
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari
makalah ini yakni sebagai berikut:
1. Memaparkan
teori secara umum teknik Western Blotting (pengertian, prinsip, prosedur)
2. Memaparkan
aplikasi dan manfaat dari teknik Western Blottingpada ujispesifitas
dan sensitifitas antibodi anti eRF3 ragi Saccharomyces cerevisia.
1.4 Manfaat
Mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai metode
western blotting meliputi teknik dasar, proses tahapan, serta aplikasi dan
manfaat dari metode western blotting padaujispesifitas dan sensitifitas antibodi anti eRF3 ragi Saccharomyces
cerevisia, sehingga dapat menambah wawasan pembaca.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Western
Blotting
·
Pengertian
Western Blotting
Western blotting atau immunoblotting adalah istilah yang
dipakai untuk proses transfer dan imunodeteksi protein pada gel yang bertujuan
untuk : (1) mengetahui keberadaan dan berat molekul protein sampel dalam suatu
campuran, (2) membandingkan reaksi silang antar protein, (3) mempelajari
modifikasi protein selama sintesis. Dengan cara ini, protein dalam hitungan
nanogram dapat terdeteksi (fatchiyah dkk, 2011).
·
Prinsip
teknik Western Blotting
Prinsip
teknik western blotting yaitu mendeteksi protein spesifik pada
sampel jaringan yang homogen ataupun dari suatu ekstraksi berdasarkan kemampuan
protein tersebut berikatan dengan antibodi. Teknik ini menggunakan gel
elektroforesis untuk memisahkan protein berdasarkan panjang polipeptida atau
berdasarkan struktur 3D-nya. Protein tersebut kemudian ditransfer ke sebuah
membran, biasanya nitroselulosa atau PVDF, dimana mereka kemudian akan dilacak
dengan menggunakan antibodi yang spesifik kepada protein target.
Membran tersebut (PVDF) dapat
diperlakukan lebih fleksibel daripada gel sehingga protein yang terblot pada
membran dapat dideteksi dengan cara visual maupun fluoresensi. Deteksi ekspresi
protein pada organisme dilakukan dengan prinsip imunologi menggunakan antibodi
primer dan antibodi sekunder. Setelah pemberian antibodi sekunder, deteksi
dilakukan secara visual dengan pemberian kromogen atau secara fluoresensi. Pada
deteksi secara fluoresensi, reaksi antara antibodi primer dengan antibodi
sekunder akan memberikan hasil fluoresens yang selanjutnya akan membakar film
X-ray, deteksi ini dilakukan di kamar gelap.
Immunodeteksi tidak
dilakukan langsung pada gel karena sifat gel yang rapuh untuk dapat melalui
proses inkubasi yang lama dan pencucian yang berulang kali. Untuk mengatasi hal
ini, maka protein terlebih dahulu ditansfer dari gel ke membran nitroselulosa
(NC) atau membrane poliviniliden difluorida (PVDF).
Membran digunakan sebagai tempat
melekatnya protein yang diuji karena:
1. Mudah
manipulasinya
2. Mengurangi
lama inkubasi dan pencucian
3. Hasil
protein yang ditrnsfer (hasil blot) dapat dipakai lagi untuk immunodeteksi
protein yang lain (sesudah diinkubasi dengan detergen untuk menghilangkan
probing reagent.
4. Blot
dapat disimpan sampai 1 bulan
5. Blot
sesuai untuk berbagai prosedur deteksi (fatchiyah dkk, 2011).
·
Prosedur teknik
Western Blotting
Western Blotting dilakukan melalui beberapa tahap.
Tahap pertama, elektroforesis. Tahap kedua, elektrotransfer. Tahap ketiga,
deteksi :
Pada tahap pertama, protein yang
diinginkan dipisahkan dari sampel secara elektroforesis. Dalam elektroforesis,
biasanya sampel yang mengandung protein biasanya dicampur dengan SDS. Protein
yang telah bermuatan negatif akan bergerak dari kutub negatif menuju kutub
positif. Laju pergerakan protein dalam membran poliakrilamid tersebut
berbeda-beda tergantung pada daya hambat antara protein dan membran. Setelah
dialiri arus listrik selama beberapa waktu, masing-masing protein akan terpisah
berdasarkan ukuran molekulnya. Protein yang lebih kecil atau memiliki berat
molekul rendah akan bergerak lebih jauh dibanding protein yang lebih besar.
Dalam gel poliakrilamid tersebut akan terbentuk pita-pita yang merupakan
protein-protein yang telah terpisah berdasarkan berat molekul.
Tahap kedua dalam WB yaitu
pemindahan protein dari gel poliakrilamid menuju gel transfer. Tahap pemindahan
tersebut menggunakan arus listrik sebagai faktor pendorong transfer protein.
Oleh karena itu, proses pemindahan tersebut disebut juga elektrotransfer.
Elektrotransfer dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu :
1. Blotting semikering
Blotting semikering menggunakan kertas saring yang telah dibasahi
dengan buffer transfer. Kertas saring tersebut diletakkan di antara gel
poliakrilamid dan gel transfer. Transfer seperti ini dapat dilakukan selama
10-30 menit dengan arus lstrik tertentu.
2. Blotting basah
Blotting basah tidak menggunakan kertas saring diantara gel
poliakrilamid dan gel transfer, tetapi kedua gel tersebut diimpitkan dan
direndam dalam buffer transfer. Transfer dengan blotting basah dapat dilakukan
45 menit hingga 1 malam. Metode blotting basah lebih umum digunakan karena
fleksibilitas metode tersebut yang lebih baik.
Gel transfer yang umum
digunakan pada WB ada dua, yaitu nitroselulosa dan nilon. Pada sebagian besar
aplikasi, nitroselulosa lebih umum digunakan karena relatif tidak mahal dan bloking
mudah dan cepat dilakukan (Bollag et al., 1996).
Tahap ketiga merupakan deteksi
protein yang telah dipindahkan ke membran transfer. Deteksi protein tersebut
memanfaatkan interaksi antara antigen dan antibodi yang bersifat spesifik.
Variasi metode-metode tersebut terutama terletak pada penggunaan antibodi
primer dan sekunder, serta penggunaan molekul penanda. Deteksi
dilakukan dengan antibodi yang telah dimodifikasi bersama dengan sebuah enzim
yang disebut reporter enzyme. Proses deteksi biasanya berlangsung dalam dua
tahap, yaitu :
a.
Antibodi Primer
Antibodi
yang digunakan di sini adalah antibodi yang pertama kali dihasilkan sistem imun
ketika terpajang protein target. Antibodi terlarut kemudian diinkubasi bersama
kertas membran paling sedikit selama 30 menit.
b.
Antibodi Sekunder
Setelah
diinkubasi bersama antibodi primer, kertas mebran dibilas terlebih dahulu
barulah diinkubasi dengan antibodi sekunder. Antobodi sekunder adalah antobodi
yang spesifik untuk suatu spesies pada antibodi primer. Misalnya, anti-tikus
hanya akan berikatan pada antibodi primer yang berasal dari tikus. Antibodi
sekunder biasanya berikatan dengan enzim reporter seperti alkaline fosfatase
atau horseradish peroxidase. Antibodi sekunder ini kemudian akan menguatkan
sinyal yang dihasilkan oleh antibodi primer. Sekarang, proses deteksi
dapat dilakukan dengan satu langkah saja, yaitu dengan menggunakan antibodi
yang dapat mengenali protein yang diinginkan sekaligus memiliki label yang
mudah dideteksi.
Analisis Chemiluminescent
Metode
ini digunakan bila substrat merupakan molekul yang bila bereaksi dengan
antibodi sekunder atu dengan reporter enzyme akan teriluminasi. Hasilnya
kemudian diukur dengan densitometri untuk mengetahui jumlah protein yang
terwarnai. Teknik terbarunya yang paking canggih disebut Enhanced
Cheiluminescent (ECL). Teknik inilah yang paling banyak digunakan sekarang.
2.2 Aplikasi
dan manfaat dari teknik Western Blotting
·
Aplikasi
teknik western blotting
Teknik western
blotting telah banyak dikembangkan dalam berbagai penelitian, salah satunya
pada penelitian mengenai spesifitas dan
sensitifitas antibodi anti eRF3 ragi Saccharomyces cerevisia. Protein eRF3 (eukaryotic
release factor-3) merupakan salah satu protein yang berperan padaproses
terminasi translasi. Protein ini bersama-sama dengan eRF1 (eukaryotic
release factor-1) saling berinteraksi membentuk kompleks release factor dalam
memediasi pelepasan rantai polipeptida dari ribosom.
Untuk memahami
mekanisme terminasi translasi dalam sistemeukariot dilakukan evaluasi struktur
fungsi eRF1 yang dilanjutkan dengan studi interaksi in vitro eRF1 mutan dan
eRF1 wild type dengan eRF3. Namun demikian, hasil deteksi dari studi interaksi
in vitro sulit terdeteksi secara kuantitatif. Untuk dapat mengkuantisasi
pita-pita eRF3 hasil studi interaksi in vitro diperlukan antibodi anti
eRF3.
·
Manfaat
Western Blotting
Konstruksi antibodi
anti eRF3 telah dilakukan, tetapi antibodi ini belum terkarakterisasi dengan
baik. Sehingga dilakukan analisa Western blot dengan cara mengukur
tingkat spesifitas dan sensitifitas antibodi anti eRF3 terhadap protein eRF3.
Spesifitas antibodi ditentukan berdasarkan kemampuan antibodi ini dalam
mengenali epitop protein eRF3 dari berbagaiprotein yang terdapat pada crude
extract ragi, sedangkan sensitifitasnya ditentukan melalui variasi jumlah
antigen (eRF3) yang berinteraksi dengan antibodi tersebut.
·
Alat dan bahan
1.
Bahan
Bahan mikrobiologi : Saccharomyces cerevisiae,
S6 killer sensitive strain, wild type.Bahan-bahan kimia pro-analisa
(p.a) yang biasadigunakan dalam penelitian rekayasa genetikseperti media YEPD
(1%yeast extract, 2%bacto peptone dan 2% D-glukosa), Tris-HCl pH7.4, PMSF
(Fenilmetilsulfonil fluoride), ReagenLowry, Folin-ciocalteu 1N, Tris-Cl
pH 8.8 dan6.8, SDS 10%, APS 10%, TEMED(N,N,N’,N’,-tetrametiletilen diamin),
akrilamiddan bis-akrilamid, Coomassie Blue 0,1% untukstaining protein, Western
blot Enhanced Chemiluminescence (ECL) RPN2108(Amersham pharmacia biotech).
2.
Alat
Peralatan gelas dan bukan gelas yang meliputi erlenmeyer,
becker glass, tabungEppendorf 1.5 mL pipet mikro 0.5-2.5 L, 0.5- 10 L, 10-100 L, 100-1000 L, untukpengambilan
larutan dalam skala mikro. Autoclave (H7101 China) untuk sterilisasi
peralatan gelas dan bahan tahan panas serta Millipore (Miller-GP, 0,22 M) untuk sterilisasi
bahan cair tidak tahan panas. Laminarflow (Labonco Co., USA), SpektrofotometerUV-Vis
(Hitachi, Model 100-60) untuk penetapan OD dan analisa kuantitatif protein.
Sentrifuge (Beckman J2-HS dan Jouan MR1822), Mikrosentrifuge (Biofuge
Fresco Heraus, Germany) untuk pemisahan sel dari suspensi dan pengendapan sel,
Vortex (Fisher Vortex Genie) untuk pemecahan sel, Mini-Protean IISlab Cell
Electrophoresis (Bio Rad), Inkubator(Thermolyine ROSI 1000), Shaker
Incubator(Dubnoff GCA) untuk menginkubasi biakan dalam media padat dan
cair, Freezer model 8571 (forma Scinetific Inc., USA) untuk menyimpan
kultur pada suhu -70oC. Trans-blotsemi dryWestern blot seri 221 BR17045 (Bio
Rad).
·
Prosedur
analisis western blotting
Ø Tahap
Transfer Protein
Transfer protein dari
gel ke matriks dengan menggunakan Trans-blot semi dry Western blot seri
221 BR17045 (Bio Rad). Membran yang digunakan adalah nitroselulosa ECL.
Transfer protein dilakukan pada tegangan 150 volt selama 30-45 menit. Proses
transfer ini harus bebas dari gelembung udara. Membrane dicuci dengan buffer
TBS (Tris buffer Saline) selama 2x10 menit.
Ø Immunoblotting
Immunoblotting dengan
antibody primer dan antibodi sekunder dimana membran yang telah dicuci dengan
buffer TBS diinkubasi dengan antibody primer (1/1000 v/v) dalam blocking
buffer selama 1 jam pada suhu kamar. Membran hasil inkubasi dengan antibody
primer dicuci kembali dengan buffer TBS selama 2x10 menit dan diinkubasi
kembali dengan antibody sekunder (1/10000 v/v) dalam secondary antibody
dilution buffer.
Ø Deteksi
Deteksi hasil
immunoblotting dengan reagen ECL (EnhancedCemiluminescence). Membran
yang telah terbungkus dalam plastic diletakkan dalam hiperkaset dan diekspos
pada negative film dalam ruang gelap selama 10-15 menit dan direndam dalam
larutan developer selama 5 menit, air 1 menit dan larutan fixer 2
menit.
·
Hasil
analisa metode Western Blotting
Pada proses
pemurnian protein eRF3 dengan kromatografi IMAC (Immobilized Metal Affinity
Chromatography), Hasil elektroforesis SDS-PAGE menunjukkan tingkat
kemurnian eRF3 yang relatif tinggi jika dibandingkan dengan protein crude
extract ragi. Walaupun demikian, dari hasil pemurnian ini masih terdapat
pita-pita lain yang muncul selain pita eRF3. Hal ini mengindikasikan
kemungkinan adanya proteinselain eRF3 atau protein eRF3 tersebut yangsudah
terdegradasi secara parsial. Dengan analisa Western blot (1b) terlihat
bahwa antibodi anti eRF3 mampu mengenali protein eRF3 yang ditandai dengan
munculnya pita-pita yang cukup jelas pada kisaran 76,6 kDa. Namun demikian
selain dapat mendeteksi pita-pita eRF3, antibodi tersebut mampu mengenali
pita-pita lain yang terdeteksi dibawah 76,6 kDa
sedangkan pada crude extract tidak ada pita yang
muncul. Hal ini mengindikasikan bahwa protein eRF3 sudah terdegradasi secara
parsial sehingga bagian-bagian protein ini masih dikenali oleh antibodi anti
eRF3 sebagai bagian dari epitop eRF3. Dugaan ini diperjelas dengan tidak
munculnya pita-pita lain selain pita eRF3 di atas kisaran 76,6 kDa, sedangkan
untuk analisa Western blot pada crude extract mengindikasikan
kemungkinan jumlah protein eRF3 yang relatif sangat rendah atau tidak ada
sehingga sukar dikenali oleh antibodi anti eRF3. Untuk mengkonfirmasi hal
tersebut, perlu dilakukan pengujian antibodi anti eRF3 terhadap protein eRF3
murni atau yang telah dimurnikan lebih lanjut sampai batas minimal hasil
deteksi yang masih dapat dikenali oleh antibodi tersebut (kontrol positif).
Protein hasil pemurnian
dengan IMAC dimurnikan lebih lanjut dengan cara elektroelusi dengan harapan
agar pita-pita yang muncul relatif lebih spesifik dan sensitifitas antibodi
dapat diketahui secara lebih baik. Sebelum proses elektroelusi, protein hasil
pemurnian IMAC dielektroforesis terlebih dahulu dengan SDS-PAGE dan hasilnya
dibandingkan dengan protein hasil pemurnian dengan elektroelusi. Hasil
elektroforesis SDS-PAGE (2a) dilanjutkan dengan analisa Western blot (2b)
menunjukan bahwa eRF3 hasil kromatografi IMAC masih menunjukan pita-pita lain
yangmuncul selain pita eRF3 sedangkan untuk hasil elektroelusi, pita protein
eRF3 yang munculadalah tunggal dan tidak ada pita-pita lain di atas maupun bawah
kisaran 76,6 kDa. Hal ini merepresentasikan bahwa protein eRF3 hasil elektroelusi
sudah relatif murni dan belum terdegradasi, sehingga pada tahapan berikutnya protein
ini dapat digunakan untuk pengujian tingkat sensitifitas antibodi anti eRF3.
eRF3 eRF3
76,6 kDa 76,6
kDa
Gambar 2. (a) SDS-PAGE eRF3 hasil IMAC (1)
&elektroelusi (2), (b) Hasil Western Blot eRF3 hasil IMAC (1) dan
elektroelusi (2)
·
Penggujian tingkat spesifitas dan sensitifitas
antibodi anti eRF3
Pengujian tingkat
spesifitas antibodianti eRF3 dilakukan dengan menambahkan protein eRF3 hasil
elektroelusi terhadap crudeextract ragi. Cara ini dilakukan dengan
harapantingkat spesifitas antibodi dapat diketahui dengan melihat ada tidaknya
interaksi yang terjadi antara antibodi anti eRF3 dengan protein target dalam
lingkungan protein-protein laindengan jumlah yang lebih beragam.
Hasilelektroforesis SDS-PAGE (3a) yang dilanjutkandengan analisa Western blot
(3b) menunjukkan adanya pita tunggal (76,6 kDa) yang muncul dari hasil analisa
Western blot. Hal ini menyarankan bahwa antibodi anti eRF3 cukup spesifik dalam
mengenali epitop eRF3.
Tahapan selanjutnya
adalah pengujian tingkat sensitifitas antibodi anti eRF3, dimana parameter
sensitifitas antibodi ini dapat ditentukan berdasarkan level deteksi
antiboditersebut terhadap antigennya. Oleh karena itu untuk menguji adanya eRF3
dalam crudeextract ragi diperlukan eRF3 murni sebagai kontrol positif.
Pengujian pertama dilakukan dengan menggunakan pengenceran eRF3 murni 1 kali
sampai 10 kali. Protein hasil pengenceran tersebut selanjutnya dilektroforesis
dalam SDSPAGE (gambar 3a) dan dilakukan analisa Western blot. Hasil
analisis Western blot(gambar 3b) menunjukkan pita tunggal yang cukup
jelas untuk protein eRF3 hasil pengenceran 10 kali (0,77 g). Namun demikian untuk pengujian terhadap protein crude
extract tanpa penambahan eRF3 murni belum menunjukan tingkat sensitifitas
yang cukup signifikan dimana dari hasil analisis yang diperoleh tidak ada pita
yang muncul untuk kedua lajur tersebut.
Untuk
mengkonfirmasi tingkat sensitifitas dan level deteksi antibodi anti eRF3
selanjutnya dilakukan pengujian terhadap protein hasil pengenceran sampai 1000
kali dan hasilnya menunjukan bahwa intensitas pita hasil deteksi masih
menunjukkan tingkat sensitifitas antibodi yang cukup baik hingga pengenceran
1000 kali (gambar 4). Hal ini mengindikasikan bahwa antibodi anti eRF3 masih
mengenali protein eRF3 walaupun dalam jumlah yang relatif rendah (7,7 ng).
Sebaliknya untuk pengujian terhadap crude extract ragi tanpa penambahan eRF3 murni (lajur 2) masih belum
menunjukkan adanya pita yang terdeteksisebagai representasi pita eRF3. Ada dua kemungkinan
yang dapat dijadikan alasan, pertama jumlah eRF3 yang terdapat pada crudeextract
kemungkinan secara alamiah terdapat dalam jumlah yang relatif rendah. Hal
ini diperkuat dengan informasi hasil penelitian lain yang
menyebutkan bahwa level ekspresi eRF3 ragi secara alamiah hanya sekitar (1:20)
jika dibandingkan dengan protein ribosom (Stansfield, et. Al., 1995).
Sebagai
perbandingan dari beberapa studi literatur yang telah dilakukan, diperoleh
tingkat sensitifitas beberapa antibodi terhadapmasing-masing antigennya (Tabel
4.1). Tingkatsensitifitas antibodi relatif berbeda bergantung pada jumlah
antibodi primer dan jenis protein yang digunakan sebagai antigennya. Antibodi
dengan level deteksi relatif paling tinggi (anti -galaktosidase) memiliki sensitifitas 30 kalilebih tinggi
jika dibandingkan dengan antibodi anti eRF3 yang hanya dapat mendeteksi sampai
0,77 ng. Namun demikian jika dibandingkan dengan antibodi
anti MAP-Kinase, sensitifitas antibodi anti eRF3 jauh lebih sensitif (130
kali),sehingga untuk keperluan studi interaksi eRF1 dengan eRF3, sebaiknya
penggunan antibodi ini perlu diperhatikan terutama dalam jumlah, waktu inkubasi, pencucian dan waktu expose
agar diperoleh kualitas hasil deteksi yang lebih baik. Disamping itu juga
penggunaan antigen yang digunakan sebaiknya tidak terdegradasi secara molekuler
agar hasil deteksi yang diperoleh dapat lebih optimal.
BAB
III
PENUTUP
2.1 Kesimpulan
1.
Metode
western blot memiliki tiga tahap yaitu elektroforesis, elektrotransfer dan
deteksi.
2.
Metode analisis EnhancedChemiluminescent sekarang lebih banyak
digunakan karena lebih modern dan mudah diaplikasikan.
3.
Analisa Western blot dengan cara
mengukur tingkat spesifitas dan sensitifitas antibodi anti eRF3 terhadap
protein eRF3.
4.
Spesifitas antibodi ditentukan
berdasarkan kemampuan antibodi ini dalam mengenali epitop protein eRF3 dari
berbagai protein yang terdapat pada crude extract ragi, sedangkan
sensitifitasnya ditentukan melalui variasi jumlah antigen (eRF3) yang
berinteraksi dengan antibodi tersebut.
5.
Hasil analisa Western blot menunjukkan
spesifitas antibodi anti eRF3 masih relatif baik dimana antibodi ini mampu
mengenali epitop protein eRF3 yang ditandai dengan munculnya pita tunggal
6.
Berdasarkan hasil analisa data yang
diperoleh, dapat disimpulkan bahwa antibodi anti eRF3 memiliki tingkat
spesifitas yangrelatif baik karena antibodi ini mampu mengenali epitop protein
eRF3 dari sekianbanyak protein yang terdapat pada crude extract ragi Saccharomyces
cerevisiae.
7.
Antibodi anti eRF3 juga memiliki tingkat
sensitifitas yang relatif tinggi. Namun demikian sensitifitas antibodianti eRF3
ini belum cukup baik dalammendeteksi keberadaan protein eRF3 yang secara
alamiah terdapat dalam crude extract ragi. Hal ini kemungkinan besar
disebabkan karena level ekspresi eRF3 dalam sel ragi yangrelatif rendah jika
dibandingkan dengan protein ribosom.
DAFTAR
PUSTAKA
Bollag, D.M., M.D. Rozycki, S.J.
Edelstein. 1996. Protein Method. Wiley-Liss,
Inc
Fatchiyah, dkk. 2011. Biologi Molekular. Jakarta: Erlangga.
Hermanto,
S. 2007. Spesifitas dan Sensitifitas Antibodi Anti eRF3 Ragi Saccharomyces cerevisia Jurnal Valensi, 1(1), 30-36
Noor, W. 2012. Western
Blot. (http://wanenoor.blogspot.com/2012/12/metode-penelitian-dengan-cara-blot.html)
diakses tanggal 21 Oktober 2014.
Santoso.
2008. Protein dan Enzim. Yogyakarta: Yayasan Farmasi Indonesia.
kak sone ya? sama dong bias saya taeyeon
BalasHapus